Renaldy Brada

This image has an empty alt attribute; its file name is image-1024x672.png

Pencarian Kuliner Perbabian Terenak di Solo, Part 1 : Touring Malang – Solo

Setelah kami berhasil melakukan Tour de Base Genep di Bali pada Februari 2023, aku menghubungi kembali temanku untuk melakukan pencarian kuliner perbabian terbaik di Kota Solo dan sekitarnya. Booking hotel sudah aman untuk 3 hari. Temanku akan berangkat dari Bogor menggunakan bus, dan aku sendiri akan berangkat dari Malang menggunakan… sepeda motor!

Mengapa menggunakan sepeda motor? padahal opsi angkutan umum dari Malang ke Solo juga sangat beragam. Salah satu alasannya adalah mengirit biaya sewa motor, karena kami akan menghabiskan waktu berkeliling Kota Solo dan sekitarnya. Selain itu, secara pribadi ingin menantang diri sendiri apakah mampu untuk touring sekitar 250 km hehehe..

Persiapan tentu harus dilakukan, selain olahraga rutin untuk mencegah boyoken di tengah jalan. Sepeda motor pun harus diservis untuk mendapatkan performa maksimal. Ganti oli, cek aki, dan terakhir adalah ganti v-belt karena menurut tukang servisnya sudah mulai rengat dan keropos. Btw, motor yang akan aku gunakan adalah vario keluaran tahun 2019.

Rute yang akan aku pilih adalah melewati Kota Batu, Kecamatan Ngantang, Kecamatan Pare, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Magetan, Kecamatan Tawangmangu, dan kemudian Solo. Sengaja aku pilih rute yang lebih jauh karena viewnya akan lebih bagus daripada melewati Kabupaten Ngawi. Jika melewati rute ini, maka sekurangnya kita akan melewati 2 jalur perbukitan : kaki Gunung Kawi di Kecamatan Ngantang, dan kaki Gunung Lawu di Kecamatan Tawangmangu.

Pondasi Perjalanan : Warung Moro Seneng, Bu Hj. Sutilah

Perjalananku dimulai di hari Minggu, tanggal 22 September 2024 sekitar pukul 7 pagi. Dari kota Malang menuju ke arah kota Batu. Kupacu sangat pelan motorku saat itu, sambil menikmati dinginnya kota Batu. Mendekati Kecamatan Pujon, jalan mulai berkelok dan sedikit macet didominasi bus pariwisata. Maklum, disana terdapat tempat wisata yang sedang ngetrend : Santerra De Laponte. Sebuah taman bunga yang juga dipenuhi spot instagramable, tapi jujur aku sendiri belum pernah kesana dan cukup heran dengan antusiasme pengunjung yang berlibur disana.

Aku lanjutkan perjalanan hingga ke kecamatan Ngantang dengan lebih berhati hati. Karena jalanan semakin berkelok dan terkadang harus berhadapan dengan truk besar yang bermuatan. Akhirnya sampai juga di Warung Moro Seneng Hj. Sutilah, yang sebelumnya memang sudah aku rencanakan untuk sarapan di tempat ini. Waktu itu sekitar pukul 9 pagi, dan perut sudah saatnya diberi ganjelan.

Sampai di Warung Moro Seneng, ternyata sudah banyak orang yang sarapan disana. Tempat parkir cukup penuh dengan mobil keluarga, pun beberapa sepeda gowes. Sepertinya tempat ini juga jadi jujugan goweser yang melalui jalur ini. Aku memesan seporsi rawon dengan tambahan telur asin. Rawon di warung ini dagingnya digoreng (tidak direbus bersama kuah). Yang disayangkan adalah porsi secara default, kuah rawon yang diberikan sedikit. Mungkin tips untuk kalian yang suka kuah rawon, bisa request kuahnya “banjir”.

Fase Jalur Membosankan : Pare – Madiun

Setelah puas sarapan, aku lanjutkan perjalanan ke Kecamatan Pare. Aku pacu sedikit lebih cepat motorku dari sebelumnya, karena jalanan sudah menurun dan relatif hanya lurus saja. Tidak ada pemandangan yang memanjakan mata selama perjalanan di jalur ini. Hanya ada beberapa titik kemacetan di tengah kota karena bertepatan dengan bubaran misa hari Minggu. Di kabupaten Nganjuk, bensin di motorku menunjukkan 2 strip. Sebagai antisipasi dan persiapan menuju Tawangmangu, aku isikan motorku dengan bensin hingga penuh.

Menuju Caruban, aku mulai pelankan kecepatan. Disana adalah jalur umum untuk truk bermuatan dan bus antar provinsi. Ada baiknya bersabar di jalur ini, terutama pengguna mobil untuk tidak asal asalan mengambil jalur kanan untuk menyalip truk. Karena sudah banyak korban yang kena tilang hihihi..

Makan Siang FOMO : Warung Bekicot Magetan

Setelah melewati jalanan gersang dan penuh kesabaran di Caruban, sampai juga di Kota Madiun. Ternyata Madiun sudah berubah menjadi kota kecil yang cantik. Di daerah alun alun ada lampu jalanan estetik, dan juga replika landmark dunia. Meskipun aku juga tidak terlalu paham apa konsep dibalik replika patung Merlion di Madiun hehehe..

Dari Madiun, aku lanjutkan perjalanan ke barat menuju Magetan. Dari info instagram story yang sering muncul di fyp, ada satu warung fenomenal yang menggunakan binaragawan sebagai brand ambassador. Selain pemilihan BA yang sangat jenius, warung ini bahkan membuat original soundtrack yang sangat melekat di setiap posting story-nya. Dengan teknik marketing yang seperti itu, tentu tidak salah untuk sekedar mencoba makanannya. Dan pas sekali saat tiba disana, waktu sudah menunjukkan sekitar jam 1 siang. Saat yang pas untuk makan siang, walaupun memang masih belum terlalu lapar.

Kesan pertama ketika memasuki parkiran ini adalah wow. Cukup banyak orang FOMO (termasuk aku) yang ingin mencoba makanan olahan bekicot satu ini. Memang kebetulan ketika itu hari Minggu dan di jam makan siang. Antrian pembeli mengular hingga sampai ke jalan. Tapi untungnya pelayanan termasuk sangat cepat, karena tidak perlu lama mengantri aku sudah bisa dilayani oleh ibu warungnya.

Jujur aku belum pernah makan rica bekicot sebelumnya. Karena hanya akan mencoba dan temanku juga kepo akan rasanya, aku memesan bekicot dalam kemasan cup yang siap dibawa pulang dan juga seporsi udang kering. Makanan ini cukup sederhana, hanya bekicot ditemani dengan nasi lalapan sambal. Aku ambil sedikit bekicot dari cup, dan ternyata rasanya.. mirip ampela ayam! Masakan ini cukup pedas, dan tipikal lauk yang harus dimakan dengan nasi. Karena bumbunya sangat medhok. Kemungkinan aku akan kembali ke warung ini ketika melewati jalur Magetan – Sarangan, tetapi ketika hype nya sudah turun. Karena makan dengan suasana kemriyek agak kurang nyaman saja.

Ngadem lagi di Sarangan – Tawangmangu

Setelah puas mengetahui rasa dari rica bekicot, saatnya kembali ke perjalanan yang jalurnya berkelok. Dari arah warung bekicot ke atas menuju Sarangan. Jalannya lebih terjal dari jalur Pujon – Ngantang. Bokong rasanya sudah sangat panas saat itu, tapi terbayarkan dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Di area Sarangan – Tawangmangu juga terdapat banyak sekali warung bahkan cafe yang bisa digunakan untuk beristirahat.

Kurang lebih 3 jam perjalanan dari warung bekicot ke hotel yang kami booking di Solo. Sangat lelah, terutama bagian pinggang yang seringkali menyerang remaja jompo di atas usia 30 tahun. Tapi itu semua berbalut dengan perasaan puas setelah menaklukan jalanan sepanjang kurang lebih 250 km. Dan ini baru permulaan dari pencarian kuliner perbabian terenak di Kota Solo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top