Renaldy Brada

Natal.. di perantauan

Sekitar 3 tahun yang lalu, saya memulai petualangan ini. Petualangan yang saya kira awalnya hanya masalah jarak, tetapi malah memberikan saya banyak pelajaran. Pelajaran yang membentuk pola pikir saya selama ini, pelajaran yang menempa batin sehingga (semoga) semakin tangguh menghadapi berbagai permasalahan.

Merantau ternyata lebih nyesek dari yang saya kira. Dulu sebelum merantau, saya tinggal bersama keluarga saya. Setiap saat saya habiskan bersama keluarga, dan saat itu saya bosan. Jujur dulu saya bosan di rumah, diawasi orang tua terus, dimarahi-marahi, disuruh ngerjain kerjaan rumah, dan lainnya. Saya dulu juga sering berantem sama orang tua, perang dingin sampai nyapa aja enggak, padahal satu atap.
Akhirnya setelah menyelesaikan SMK, saya putuskan kuliah jauh dari rumah. Di rantau, saya serasa menjadi orang bebas, mau ngapain aja terserah, mau tidur malem, mau gak kuliah, mau ngapain gitu terserah. Singkat kata saya mendapatkan kebebasan saya yang gak saya dapat di rumah. Dan itu menyenangkan saya, pada awalnya.
Sebulan, dua bulan, satu semester, bahkan Natal pertama di perantauan saya lewati dengan mudah tanpa berkumpul dengan keluarga. Malah katanya mama saya yang nangis gara-gara absen saya merayakan Natal di rumah. hahaha.  Untungnya disini juga ada banyak perantau, jadinya kami merayakan Natal sesama perantau. Saat Natal di kampus kami berdekatan dengan UAS, jadi kami jarang yang pulang apalagi yang rumahnya jauh.
Natal kedua, ketiga, dan sekarang Natal keempat saya mulai merasakan kehampaan. Saya merindukan saat-saat yang kami habiskan dulu, makan-makan bersama keluarga besar setelah misa Natal di rumah ibuk (nenek) , nonton film Natal bareng. Ah, sekarang masa-masa itu malah menjadi memori yang indah..
Natal keempat ini menjadi semacam klimaks kehampaan saya. Kemarin waktu malam Natal saya putuskan ke gereja sendiri seperti biasa. Di dekat kampus saya ada Gereja Stasi, yang bisa dijangkau sekitar 20 menit dengan berjalan kaki. Di kos bisa pinjam motor temen sebenarnya, tapi saya putuskan berjalan kaki biar galaunya lebih greget. hehe. Misa pun dimulai, ada saat dimana kor gereja melantunkan lagu Malam Kudus dan lagu Natal lainnya,  saya merinding hebat mendengarnya, serasa mengisi kehampaan saya. Saat misa selesai, ada kecemburuan melihat beberapa keluarga kecil saling bersalaman hangat.
Yah begitulah rasanya Natal di perantauan, berbahagialah kalian yang bisa menghabiskan Natal bersama keluarga. Buat kalian yang bosan dengan rutinitas rumah kalian, bosan dengan omelan orangtua kalian,  silahkan mencoba merantau. Seorang yang berhati keraspun saya yakin akan merindukan omelan orangtua di perantauan, hanya masalah waktu saja.
Selamat Natal buat saya sendiri, buat keluarga saya di rumah, buat kalian yang membaca tulisan saya ini. Semoga kelahiran Yesus memberikan pengharapan baru bagi kita. Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top